Minggu, 01 Agustus 2010

SKETSAKU


SKETSAKU
Oleh : Syarifuddin
Jakarta,  Maret 2005

1
Setamat SMA tahun 1985 bulan Mei aku meninggalkan kampung halaman Kota Bima, aku ke Yogayakarta untuk belajar. Awal datang di Yogya aku hidup prihatin, kontrak satu kamar, bertiga dengan kawan kakakku (kak Rasad) dan aku. Dan memang modalku hanya nekat aja. Awal yang sangat sulit, padahal ketika masa-masa SMA (SMAN 1 Bima) aku punya perestasi yang cukup bagus, ketika menginjakkan kaki di Yogya seakan aku kehilangan kepercayaan diri. Tak ada yang bisa kulakukan. Keuangan terbatas, kemampuan/keahlian terbatas aku bingung apa yang harus dilakukan. Kupikir dengan semangat dan kemampuan yang ada bisa kumanfaatkan untuk meraih apa yang kuinginkan. Satu tahun pertama adalah masa yang sangat sulit bagiku, aku gagal masuk UMPTN. Aku kecewa, kuakui ada harapan yang hilang dan tak bisa kuraih dengan mudah. Dan harapanku untuk masuk perguruan tinggi negeri dan bagus, tidak tercapai, maka belajar secara formal di Perguruan Tinggi tak bisa saya lanjutkan. Biaya untuk melanjutkan Pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta tak mencukupi. Sehingga praktis tak ada kegiatan yang bisa saya lakukan. Setiap hari yang bisa kulakukan keluyuran tak jelas arah dan tujuan, sehingga banyak waktu yang tersia-sia. Kondisi seperti ini seharusnya bisa diduga sebelumnya, dengan keadaan yang ada aku hanya bisa bertahan menerima keadaan apa adanya, seharusnya yang aku lakukan adalah belajar mencari uang sambil melanjutkan pendidikan, dan menambah wawasan pengetahuan serta pergaulan yang bermanfaat.

Bila kuingat kembali apa yang kualami saat-saat pertama menginjakkan kaki di Yogyakarta, aku menjadi sangat malu sekali. Aku tak mengenal apa-apa, aku tak bisa bergaul dengan banyak orang. Beruntung aku bisa aktif bersama remaja Masjid di Mushola dekat kontrakan kami, dimana aku aktif rutin sholat subuh dan waktu sholat wajib lainnya. Juga mencoba bergaul dengan kawan-kawan kakakku, mereka aktif disanggar, wartawan,  penulis dan pelukis. Itupun membuat saya merasa rendah diri karena saya merasa ngak bisa apa-apa. Dan yang masih ku ingat adalah Usdika, Pak Fauji dan Pak Yakob. Dengan Usdika saya sering keluyuran malam-malam dari Kaliurang sampai Keparakan Lor jalan Kaki bolak – balik tak tentu tujuan, jaraknya kurang lebih puluhan kilometer. Aku sering kelaparan dan kelelahan. Teman-teman kakakku mereka hidupnya nyentrik-nyentrik sebenarnya sangat sulit untuk bisa kupahami, kecuali aku hanya bisa belajar bagaimana bisa menerima hidup apa adanya. Setahun penuh aku melewati masa-masa sulit dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, walau demikian alhamdulillah aku bisa menjaga Ibadahku. Setahap demi setahap aku belajar tentang bergaul, berbicara, mengenal orang dan apapun itu semuanya aku benar-benar belajar sedikit demi sedikit. Aku datang dengan penuh semangat !, tapi kemudian aku kecewa karena ternyata tak bisa belajar di Perguruan Tinggi Ternama dan bagus dengan Jurusan yang diinginkan (waktu itu aku ingin sekali memperdalam ilmu Tata Buku dan Hitung Dagang yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Accounting). Dengan kondisi putus asa tersebut. Memaksaku untuk terus merenungi dan memahami bahwa aku hanyalah orang biasa. Mencoba memahami setiap kejadian dan apa hikmahnya. Dengan kondisi yang sangat terpuruk, aku mencoba bangkit dengan cara meningkatkan pemahaman Agama. Aku selalu mencoba untuk menjaga ibadah Sholatku. Bagiku ibadah Sholat menjadi cahaya dan penerangku untuk membimbing dan menuntunku agar senantiasa tabah dan sabar menjalani hari demi hariku, bila tiba waktunya Sholat terasa nikmat bisa menghadapNYa. Yang kuingat hanya “ jangan meninggalkan Sholat” dan selalu berpikir untuk senantiasa ke Masjid.

Memahami kembali ketika awal aku menginjakkan kaki di Yogya adalah aku harus mengakui sejujurnya bahwa “aku memang kurang percaya diri”. Bila aku kembali bercermin aku melihat kembali begitu lugu dan polosnya aku !. Tak terbayangkan olehku apa yang akan terjadi dengan keadaan yang ada. Dan mengenang kembali saat-saat pertama datang ke Yogya, aku merasa bagaikan bayi yang baru lahir. Aku tumbuh apa adanya, semua terasa baru, asing dan segala sesuatu aku memulai kembali dari awal. Sejak awal seharusnya aku menyadari bahwa belajar yang sesungguhnya adalah mengisi diri kita dengan ilmu, karena bekal yang paling berharga dalam hidup adalah ilmu, dan prosesnya adalah meningkatkan dan menyempurnakan kemandirian menghadapi dan mengatasi masalah yang ada. Inilah pengakuanku, betapa sulit yang kuhadapi untuk bisa memberontak dengan kondisi diriku sendiri, dan belajar memulai sesuatu dengan penuh percaya diri, namun demikian dengan caranya sendiri Allah telah menunutunku dan menjagaku, sehingga aku tidak terlalu terpuruk lebih jauh, karena tali yang kupegang adalah senantiasa untuk menyempurnakan Ibadah Sholatku. Menumbuhkan rasa percaya diri adalah proses terberat yang harus kulalui, karena aku merantau ke Yogya hanya bermodalkan kenekatan, tanpa harus mengukur seberapa besar kemampuan yang kumiliki, terutama mengenai masalah biaya hidup apalagi hitung-hitungan dengan biaya kuliah.

Dan menengok kembali latar belakang pendidikan lingkungan dan keluargaku, saya adalah anak ke 3 dari 9 bersaudara, dengan anggota keluarga sebanyak itu kami hidup prihatin, tak akan pernah hilang dari ingatanku, bagaimana ibu saya membagi-bagikan bubur untuk sarapan pagi dan makan nasi hanya ber”lauk”an gula pasir buat keluarga besarku. Bagaimana saya harus mengasuh adik-adikku menggendong depan dan belakang sambil bermain. Dan kami tidur geletakan dengan kamar dan ruangan yang terbatas. Penerangan rumah lampu petromax dan lampu belajar “teplok”. Kadang-kadang aku sering menangis bila duduk sendiri di”deker” rumah tetangga habis sholat magrib. Dan didepan pintu rumahku sambil duduk ditangga aku sering “ngalamun”. Lamunanku  sebenarnya hanya sederhana “merantau ke tanah Jawa” untuk belajar apa saja. Masa – masa selama di kampung aku memang sering “ngelamun” dan ini membuat aku kelihatan seperti anak pendiam, karena aku memang sering bermimpi tentang dunia diseberang, saat itu daerah Dompu, Sumbawa apa lagi Kota Mataram tak pernah saya bayangkan seperti apa.

Menelusuri kembali masa kecilku adalah pengalaman anak kampung, yang menghabiskan waktu dengan barmain kelereng, bermain karet, bermain sembunyi-sembunyi bila bulan sedang purnama, bermain “topolele”, bermain layangan, memancing disungai, intinya aku memang anak kampung yang hanya bisa bergaul seperti halnya anak-anak kampung. Yang lugu dan polos apa adanya. Kesederhanaan yang melatar belakangi hidup saya adalah masalah tersendiri karena peranan kedua orang tuaku tak banyak yang kuingat kecuali kesadaran yang ada dalam diri saya  tumbuh secara alamiah, aku memang ingat bagaimana ibuku sangat pencemburu sehingga bapakku sering ringan tangan memukul dan menyiksa ibuku, pernah membekas dalam ingatanku ketika aku SMP aku terlambat kesekolah dan dihukum oleh guruku untuk tidak masuk ke ruang klas karena harus merawat ibuku yang babak belur disiksa oleh bapakku, masalahnya tak begitu jelas, tapi aku masih ingat kondisi ibuku. Namun demikian dirumah aku dipercaya untuk memelihara ayam dan kambing juga tanaman di halaman rumah. Dalam keseharianku memang aku mencoba untuk bisa tekun dalam beribadah dan belajar sejak kecil, ini menjadi bekal tersendiri setelah aku  merantau.


2

Akhirnya walaupun aku tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri, tahun 1986 aku bisa kuliah di Universitas Muhamadyah Yogyakarta Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen. Dengan biaya secukupnya. Keterbatasan biaya memaksaku untuk bisa mengatur kebutuhan seperlunya, untuk ke kampus aku harus jalan kaki kurang lebih 20 KM pulang pergi ke kampus agar bisa menghemat biaya transport. Saat itu aku tinggal di Keparakan Lor sedangkan kampus di Wirobrajan. Kadang-kadang aku terpaksa numpang menginap di tempat kos teman-teman kampus agar aku dapat mengikuti kuliah esok harinya. Aku sempat kost yang agak dekat dengan kampus dengan ukuran kamar 2 x 1.5 m beberapa bulan. Sampai akhirnya atas inisiatif Kakakku aku tinggal di daerah Kauman, dan selama tinggal di Kauman inilah aku merasa banyak belajar, karena aku berada dalam lingkungan yang sangat religius, dimana aku bisa sholat lima waktu di Masjid Besar Kauman, bisa berkumpul dengan teman-teman pengajian yang rajin ibadahnya. Belajar agama lebih baik lagi. Aku berkumpul dengan teman-teman dari berbagai daerah disinilah sedikit demi sedikit aku mulai bisa bergaul lebih luwes . Aku mulai bisa konsentrasi dengan belajarku, nilai-nilai mata kuliahku mulai agak lebih baik. Setiap hari aku pulang pergi kuliah jalan kaki menempuh jarak kurang lebih 5 km ( ± 10 km PP). Saat aku kuliah hanya bermodalkan kertas selembar dan bopoint. Untuk mencukupi semua kebutuhan kuliah saya harus pandai mengaturnya dan sering – sering datang keperpustakaan. Aku tidak pernah berpikir bagaimana penampilan saya, pakaian dll, termasuk makan. Untuk kebutuhan sehari-hari, kadang-kadang aku harus ngutang dulu itupun aku harus ngirit, bahkan sering juga aku puasa.

Aku ingin membuktikan pengabdian kepada kedua orangtuaku, bahwa pengorbanan mereka selama aku kuliah senantiasa menuntun perjalanan hidupku pada petujuk jalan hidup yang lurus dan benar. Sehingga yang ada dalam pikiranku “aku harus segera menyelesaikan kuliah”. Bapakku memang jarang bicara dengan saya tapi mungkin dari hatinya yang paling dalam dia senantiasa berdo’a untukku, tapi ibuku rajin mengirim surat buatku hampir tiap bulan menceritakan apa saja yang ada dirumah, aku ingat kedua orang tuaku yang selalu mengirim biaya hidup (setiap bulan Rp. 50.000 s/d Rp. 80.000.- kadang-kadang Rp.100.000.-) dengan sangat susah payah. Semoga Allah selalu memuliakan kedua orangtuaku dunia akhirat. Amiin. Selama menimba ilmu aku berhadapan dengan segala macam persoalan, yang terkait dengan kemampuan dan keyakinan hidup yang kumiliki. Secara materi aku memang terbatas, tapi dengan keyakinan telah menuntun jalan hidup saya untuk mengahadapi dengan apa adanya. Dan belajar untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada. Di bangku kuliah aku diberi kesempatan untuk bisa senantiasa berpikir secara rasional, tapi persoalan hidup saya sendiri adalah masalah tersendiri, bagaimana saya harus terus bertahan hidup, memberi makna batin yang lebih mendalam, karena setiap hari aku senantiasa mengalami perang batin dengan diri saya sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga proses pembelajaran yang aku terima adalah lebih banyak ku ukur bagaimana aku harus berjalan kaki atau naik angkutan umum untuk bisa sampai pada tujuanku. Sepanjang jangkau yang bisa kutempuh, sejauh itulah yang bisa kudapatkan. Karena fasilitas kendaraan sendiri aku tak punya. Namun demikian persoalan sebenarnya adalah kemampuan saya untuk memberotak dengan diri saya sendiri, menjadi kendala tersendiri. Maka persoalan yang harus dan selalu bisa kupahami adalah bagaimana saya untuk senantiasa menyempurnakan memahami diri saya sendiri. Dan nilai pengabdianku untuk senantiasa bisa memuliakan kedua orang tuaku adalah tujuanku yang utama, karena saya berharap sebagai anak aku harus bisa menjadi anak yang bisa mempersembahkan yang terbaik buat mereka, dan menjadi penyejuk setiap menerima kabar tentang keadaan saya. Dan pembenaranya adalah menyempurnakan kwalitas ibadahku dengan penuh kepasrahan dan Ikhlas menerima apapun yang telah menjadi ketentuan-NYA. Mungkin itulah petunjuk yang bisa kuterima untuk memahami apapun kenyataan yang ada. Namun demikian idealnya kesempatan yang kumiliki untuk belajar dibangku kuliah seharusnya bisa meningkatkan kwalitas kepribadian dan pola pikir, dan untuk menyimpulkannya tidak sesederhana yang bisa aku pahami, karena kebenarannya adalah seharusnya aku mensyukuri kesempatan yang kumiliki untuk bisa tumbuh dengan lebih baik, karena masih banyak orang lain yang tidak mempunyai kesempatan seperti saya untuk bisa merantau sampai ke Yogya, sehingga betapapun sulitnya keadaan yang kuhadapi itu adalah  seharusnya bisa memacuku agar terlatih menghadapi segala macam persoalan yang ada. Biaya kuliah dan biaya hidup didaerah rantau adalah pertimbangan tersendiri karena sebelumnya seharusnya bisa kuukur kemampuanku, tapi karena awalnya aku sudah datang dengan nekat, ya...! konsekwensinya adalah  aku memang harus harus tahan banting, kalau tidak.....! mungkin yang terparah akibatnya aku akan sakit jiwa. Ya..... Allah, terimakasih Engkau telah menuntunku dan membimbingku ke jalam yang Engkau Ridhoi, Ya... Alllah terimakasih atas segala PetunjukMu.

3
Proses untuk menyelesaikan kuliah tak terbayangkan olehku bagaimana aku harus menyelesaikan segala macam biaya, baik biaya kuliah maupun biaya hidup sehari-hari. Kalau dihitung secara matematis aku tak akan sanggup mencukupinya. Orang tuaku di kampung sudah cukup berusaha, ibuku berjualan kue untuk menambah penghasilan bapakku sebagai bendahara (pegawai golongan kecil). Aku benar-benar tawakal, menyerahkan sepenuhnya takdir apa yang akan dan telah ditentukan oleh Allah bagaimana nasibku selanjutnya. Sehari-hari aku hanya bisa melakukan rutinitas yang konstan. Antara kampus masjid dan rumah (kost) selebihnya berkumpul dengan kawan-kawan pengajian. Duniaku benar-benar sangat terbatas. Masa-masa kuliah, hidupku semakin prihatin. Aku tak bisa mengenal dunia lebih dari apa yang aku harapkan. Bergaul lebih luas, belajar dengan lebih tekun, atau mnguasai ilmu dengan lebih baik. Alhamdulillah teman-teman kostku orangnya baik-baik. Aku mengenal sisi lain dari kehidupan hanya dengan mengamati tingkah dan polah dari teman-teman kostku.. Dan apapun Obsesi dalam hidupku, aku hanyalah orang biasa, yang berusaha bagaimana bisa membahagiakan hidup “kedua orang tuaku”. Aku bisa merasakan penderitaan mereka, do’a mereka telah menuntun jalan hidupku, membimbingku dalam segala kebingungan yang saya hadapi, dan segala keprihatin hidup yang aku lalui sehingga saya bisa kuat menghadapi segala cobaan hidup.

Saat-saat harus menyelesaikan kuliahku alhamdulillah kakakku kak ud punya usaha kecil-kecilan di Bandung, saya punya kesempatan bisa membantunya karena ia juga memerlukan bantuan tenagaku, sehingga untuk membantu biaya akhir kuliah saya terpaksa harus istrahat dulu satu tahun, yang kebetulan urusan kuliah saya sudah selesai tinggal menyelesaikan Tugas Akhir (Skripsi) dan beberapa mata kuliah ujian negara. Setelah uangnya sudah bisa mencukupi untuk bisa mneyelesaikan kuliah saya kembali lagi ke Yogya. Kurang lebih enam bulan saya konsentrasi penuh untuk menyelesaikan kuliah, dan alhamdulillah akhirnya semuanya bisa tuntas dan sayapun diwisuda. Perjuanganku belum berakhir, saya merasa perjuanganku baru dimulai,  karena selama kuliahku kurang lebih lima tahun. Saya merasa belum mendapatkan apa-apa, sehingga saat-saat diwisuda apa yang ada dalam pikiran saya tak terbayang apa-apa, apa yang harus kulakukan setelah itu tak tergambar sama sekali, semuanya kosong. Aku kembali bingung. Karena aku lulus dengan hasil yang biasa-biasa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar